TENTANG
TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-
COMMERCE)
A. Sejarah dan
Perkembangan Transaksi Elektronik
Perdagangan merupakan
transaksi jual beli barang yang dilakukan antara penjual dan pembeli di suatu
tempat. Transaksi perdagangan dapat timbul jika terjadi pertemuan antara
penawaran dan permintaan terhadap barang yang dikehendaki. Perdagangan sering
dikaitkan dengan berlangsungnya transaksi yang terjadi sebagai akibat munculnya
problem kelangkaan barang. Perdagangan juga merupakan kegiatan spesifik, karena
di dalamnya melibatkan rangkaian kegiatan produksi dan distribusi barang.
Kegiatan perdagangan bukan merupakan sesuatu yang baru, sebab kegiatan ini
sudah ada sejak zaman prasejarah.
Menurut sejarah,
internet pertama kali muncul pada tahun 1969 di amerika serikat, dimana
dibentuk suatu jaringan computer di University of California di Los
Angeles, university of California di Santa Barbara, University of Utah dan
Institut Penelitian Stanford. 26
Proyek yang didanai oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat dengan nama Advanches
Researches Project Agence (ARPA), ARPA atau ARPANET ini didesain untuk
mengadakan sistem desentralisasi internet. 27
Lalu sekitar tahun 1980, Yayasan Nasional Ilmu Pengetahuan (National Scince
Foundation) memperluas ARPANET untuk menghubungkan computer
26Mariam Darus
Badrulzaman et al, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung,
2001, hal.267.
27 Ibid
seluruh dunia. Internet,
termasuk electronic mail (E-mail) yang berkembang sampai tahun 1994,
pada saat mana ilmu pengetahuan memperkenalkan World Wide Web (WWW).
Seterusnya internet mengalami perkembangan dan penggunaannya meluas ke
kegiatan bisnis, industri, dan rumah tangga di seluruh dunia. Perkembangan dan
kemajuan internet telah mendorong kemajuan di bidang teknologi informasi.
Penggunaan internet yang semakin luas dalam kegiatan bisnis, industri dan rumah
tangga telah mengubah pandangan manusia. Dimana kegiatan-kegiatan diatas pada
awalnya dimonopoli oleh kegiatan fisik kini bergeser menjadi kegiatan di dunia
maya (Cyber world) yang tidak memerlukan kegiatan fisik. Ditengah
globalisasi komunikasi yang semakin terpadu (global communication
network) dengan semakin populernya internet, seakan telah membuat
dunia semakin menciut (shrinking the world) dan semakin memudarkan batas
negara berikut kedaulatan dan tatanan masyarakatnya, begitu juga perkembangan
teknologi dan informasi di Indonesia, maka transaksi jual beli barang pun yang
pada awalnya bersifat konvensional perlahan-lahan beralih menjadi transaksi
jual beli barang secara elaktronik yang menggunakan media internet yang dikenal
dengan e-commerce atau kontrak dagang elektronik.
Di Indonesia, fenomena e-commerce
ini sudah dikenal sejak tahun 1996 dengan munculmya situs http://
http://www.sanur.com/ sebagai toko buku on-line pertama. Meski belum terlalu
populer, pada tahun 1996 tersebut mulai bermunculan berbagai situs yang
melakukan e-commerce. Sepanjang tahun 1997-1998 eksistensi e-commerce
di Indonesia sedikit terabaikan karena krisis ekonomi namun di tahun 1999
hingga saat ini kembali menjadi fenomena yang menarik
perhatian meski tetap
terbatas pada minoritas masyarakat Indonesia yang mengenal teknologi.
E-commerce dapat
dipahami sebagai kegiatan transaksi perdagangan baik barang dan jasa
melalui media elektronik yang memberikan kemudahan didalam kegiatan
bertransaksi konsumen di internet. Keunggulan e-commerce terletak pada
efisiensi dan kemudahannya, membahas tentang hukum e-commerce maka tidak
akan lepas dari hukum internet (cyber law). Internet adalah dunia
virtual/dunia maya yang memiliki komunitas yang sangat khas, yaitu tentang
bagaimana aplikasi teknologi komputer yang berlangsung secara online pada saat
si pengguna internet menekan atau telah terkoneksi dengan jaringan yang ada.
Maka dalam konteks ini pula maka aspek hukum yang melekat dari mekanisme e-commerce
adalah berinteraksi dengan aplikasi jaringan internet yang digunakan oleh pihak
yang melakukan transaksi melalui sistem e-commerce. 28
B. Pengertian
Transaksi Elektronik
Istilah Electronic
Commerce belum memiliki istilah yang baku. Terdapat beberapa istilah yang
dikenal pada umumnya seperti E-Commerce, WEB Contract, dan
Kontrak Dagang Elektronik. Namun dalam tulisan ini, istilah yang digunakan
adalah e-commerce.
E-commerce merupakan
bagian dari Electronic Bussines (bisnis yang dilakukan melalui
media elektronik). Kalangan bisnis memberikan definisi
28 Michael S.H. Neng, Understansing
Electronic Commerce From A Historitical Perspective,
http://www.oecd.org/dsti/sti/it/infosoc/,
bahan diakses tanggal 3 Februari 2008
tentang e-commerce
sebagai segala bentuk perniagaan / perdagangan barang atau jasa dengan
menggunakan media elektronik. Media elektronik disini tidak terbatas pada
internet saja, namun karena penggunaan internet dewasa ini amat populer maka
focus pembahasan pada skripsi ini adalah e-commerce pada media internet.
Onno W. Purbo dan Aang
Wahyudi yang mengutip pendapat David Baum 29
menyebutkan bahwa “e-commerce is a dynamic sets of technologies, application,
and bussines procces that link enterprises, consumers and communities
through electronic transaction and the electronic exchange of goods,
services and information”. bahwa e-commerce adalah suatu set dinamis
teknologi, aplikasi, dan kegiatan bisnis yang menghubungkan perusahaan,
konsumen, dan komunitas melalui transaksi elektronik dan perdagangan barang,
servis dan informasi.
Menurut Julian Ding
sebagaimana dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman memberikan definisi sebagai
berikut : 30
“Electronic Commerc,
or E-Commerce as it is also knomn is a commercial transactions between a
vendor and phurchaser or parties in similar contractual relationships for the
supply of goods, services or the acquisition of “right”. This commercial
transaction is executedor entered into in an electronic medium (or digital
medium)when the physical presence of the parties is not required. And the
medium exits in a public network or system as opposed to a private network
(Closed System). The public network or system must be considered an open
29Onno W. Purbo dan
Aang Wahyudi, Mengenal E-Commerce, PT Elex Media Komputindo, 2000,
Jakarta, hal. 2.
30 Mariam Darus
Badrulzaman et al, op.cit, hal. 283
system (e.g the
internet or the world wide web), the transactions are concluded regardless of
national boundaries or local requirements”.
Terjemahan bebasnya adalah
sebagai berikut :
“Electronic
Commerce Transaction adalah transaksi dagang antara penjual dengan pembeli
untuk menyediakan barang, jasa atau mengambil alih hak. Kontrak ini dilakukan
dengan media electronic (digital medium) di mana para pihak tidak hadir secara
fisik dan medium ini terdapat dalam jaringan umum dengan sistem terbuka yaitu
internet atau world wide web. Transaksi ini terjadi terlepas dari batas wilayah
dan syarat nasional”.
1. “e-commerce
can be defined as commercial activities conducted through an exchange of
information generated, stored, or communicated by electronical, optical or
analogues means, including EDI, E-mail, and so forth”
Terjemahan
bebasnya sebagai berikut :
e-commerce dapat didefinisikan sebagai aktifitas
komersial melalui pertukaran informasi yang dihasilkan, disimpan atau
dikomunikasikan oleh alat elektronik, optik atau analog, termasuk EDI, E-mail,
dan lainlain.
2. “e-commerce
is performing business transaction with the aid of evolving computing
tools and paper-less communication links (electronic messaging technologies)”.
Terjemahan
bebasnya sebagai berikut :
31
http://id.wikipedia.org/wiki/E-commerce, bahan diakses tanggal 10 Juni 2010.
e-commerce adalah alat untuk
mendukung kegiatan transaksi bisnis dengan
perkembangan komputansi dan tidak
menggunakan kertas.
3. “electronic
Commerce may be defined as the entire set of process that support commercial
activities on a network and involve information analysis”.
Terjemahan
bebasnya adalah sebagai berikut :
e-commerce
dapat didefinisikan sebagai suatu set dari keseluruhan proses
yang
mendukung kegiatan komersial dalam jaringan dan mengembangkan analisa
informasi.
1.
Adanya
kontrak dagang,
2.
Kontrak
itu dilaksanakan dengan media elektronik,
3.
Transaksi
bersifat paper less,
4.
Kehadiran
fisik dari para pihak tidak diperlukan,
5.
Kontrak
itu terjadi dalam jaringan publik,
6.
Sistem
terbuka, yaitu dengan internet atau WWW (World Wide Web)
7.
Kontrak
itu terlepas dari batas yurisdiksi nasional.
8.
Mempunyai
nilai ekonomis.
E-commerce pada
dasarnya adalah kegiatan perdagangan yang menggunakan media elektronik.
Kedudukan e-commerce dalam hukum Indonesia terletak dalam bidang hukum
perdata sebagai subsistem dari hukum perjanjian,
32 Mariam Darus
Badrulzaman et al, op.cit, hal.284.
1.
Asas
kebebasan berkontrak
2.
Asas
konsensual
3.
Asas
itikad baik
4.
Asas
keseimbangan
5.
Asas
kepatutan
6.
Asas
kebiasaan
7.
Asas
ganti rugi
8.
Asas
keadaan memaksa
9.
Asas
kepastian hukum, dll.
Karena berlakunya
asas-asas hukum perjanjian dalam e-commerce, maka ketentuan tentang
perikatan tetap berlaku, sehingga berlaku pula Pasal 1320 KUH Perdata tentang
syarat sahnya suatu perjanjian yakni :
1.
Sepakat
mereka untuk mengikatkan dirinya ;
2.
Cakap
untuk membuat suatu perikatan;
3.
Suatu
hal tertentu;
4.
Suatu
sebab yang halal.
C. Mekanisme dan
Karakteristik E-Commerce
Transaksi e-commerce
antara pihak e-merchant (pihak yang menawarkan barang atau jasa melalui
internet) dengan e-customer (pihak yang membeli barang
33 Mariam Darus
Badrulzaman et al, op.cit, hal.282.
atau jasa melalui
internet) yang terjadi di dunia maya atau di internet pada umumnya berlangsung
secara paperless transaction, sedangkan dokumen yang digunakan dalam
transaksi tersebut bukanlah paper document, melainkan dokumen elektronik
(digital document). 34
Kontrak online dalam e-commerce
menurut Santiago Cavanillas dan A. Martines Nadal, seperti yang dikutip oleh
Arsyad Sanusi memiliki banyak tipe dan variasi berdasarkan sarana yang
digunakan untuk membuat kontrak, yaitu: 35
1. Kontrak melalui chatting dan video conference
Chatting dan
video conference adalah alat komunikasi yang disediakan oleh
internet yang biasa digunakan untuk dialog interaktif secara langsung. Dengan chatting
seseorang dapat berkomunikasi secara langsung dengan orang lain seperti
layaknya telepon, hanya saja komunikasi lewat chatting ini adalah
tulisan atau pernyataan yang terbaca pada komputer masing-masing. Sesuai dengan
namanya, video conference adalah alat untuk berbicara dengan beberapa
pihak dengan melihat gambar dan mendengar suara secara langsung pihak yang
dihubungi dengan alat ini. Dengan demikian melakukan kontrak dengan menggunakan
jasa chatting dan video conference ini dapat dilakukan secara
langsung antara beberapa pihak dengan menggunakan sarana komputer.
2. Kontrak melalui e-mail
E-mail adalah
salah satu kontrak online yang sangat populer karena pengguna e-mail
saat ini amat banyak dan mendunia dengan biaya yang sangat murah dan waktu yang
efisien. Untuk memperoleh alamat e-mail dapat dilakukan
35 Ibid.
dengan cara
mendaftarkan diri kepada penyedia layanan e-mail gratis atau dengan
mendaftarkan diri sebagai subscriber pada server atau ISP tertentu.
Kontrak e-mail dapat berupa penawaran yang dikirimkan kepada seseorang
atau kepada banyak orang yang tergabung dalam sebuah mailing list,
serta penerimaan dan pemberitahuan penerimaan yang seluruhnya dikirimkan
melalui e-mail. Di samping itu kontrak e-mail dapat dilakukan
dengan penawaran barangnya diberikan melalui situs web yang memposting
penawarannya, sedangkan penerimaannya dilakukan melalui e-mail.
3. Kontrak melalui web
Kontrak melalui web
terjadi dimana pihak e-merchant memiliki deskripsi produk atau jasa
dalam suatu halaman web dan dalam halaman web tersebut terdapat
form pemesanan, sehingga e-customer dapat mengisi formulir tersebut
secara langsung apabila barang atau jasa yang ditawarkan hendak dibeli oleh e-customer.
a. E-customer
dan
e-merchant bertemu dalam dunia maya melalui server yang disewa dari Internet
Server Provider (ISP) oleh e-merchant.
b. Transaksi
melalui e-commerce disertai term of use dan sales term condition atau
klausula standar, yang pada umumnya e-merchant telah meletakkan klausula
kesepakatan pada website-nya, sedangkan e-customer jika berminat
tinggal memilih tombol accept atau menerima.
36 Nofie Iman,
op.cit, hal. 8.
c. Penerimaan
e-customer melalui mekanisme “klik” tersebut sebagai perwujudan
dari kesepakatan yang tentunya mengikat pihak e-merchant.
d. Pada
saat kedua belah pihak mencapai kesepakatan, kemudian diikuti dengan proses
pembayaran, yang melibatkan dua bank perantara dari masing-masing pihak yaitu acquiring
merchant bank dan issuing customer bank. Prosedurnya e-customer memerintahkan
kepada issuing customer bank untuk dan atas nama e-customer
melakukan sejumlah pembayaran atas harga barang kepada acquiring merchant
bank yang ditujukan kepada e-merchant.
e. Setelah
proses pembayaran selesai kemudian diikuti dengan proses pemenuhan prestasi
oleh pihak e-merchant berupa pengiriman barang sesuai dengan kesepakatan
mengenai saat penyerahan dan spesifikasi barang.
Berbeda dengan
transaksi perdagangan pada umumnya, e-commerce memiliki beberapa
karakteristik yakni : 37
a. Transaksi tanpa batas
Sebelum era internet,
batas-batas geografi menjadi penghalang suatu perusahaan atau individu yang
ingin go-internasional. Sehingga hanya perusahaan atau individu yang memiliki
modal besar yang dapat memasarkan produknya ke luar negeri. Dewasa ini dengan
adanya internet, perusahaan kecil atau menengah dapat memasarkan barangnya ke
luar negeri dengan hanya membuat website atau memajang iklan-iklannya di
internet tanpa batas waktu (24 jam), maka pelanggan dari seluruh dunia dapat
mengaksesnya dan melakukan transaksi secara online.
b. Transaksi bersifat anonym
37 Nofie Iman,
op.cit, hal. 3.
Para penjual dan
pembeli dalam transaksi e-commere tidak harus bertemu muka secara
langsung satu sama lainnya. Bahkan penjual tidak memerlukan nama pembeli,
selama pembayarannya telah diotorisasi oleh penyedia layanan yang ditentukan,
biasanya pembayaran dilakukan dengan menggunakan kartu kredit atau transfer via
bank.
c. Produk yang diperdagangkan
Produk yang
diperdagangkan melalui internet berupa produk digital maupun non digital,
barang berwujud maupun tak berwujud, dan barang bergerak.
D. Ruang Lingkup
dan Dasar Hukum E-Commerce
Perkembangan dunia
bisnis dewasa ini dalam perkembangan perdagangan tidak lagi membutuhkan pertemuan
secara langsung antara para pelaku bisnis. Kemajuan teknologi memungkinkan para
pelaku bisnis melakukan hubungan hubungan bisnis melalui internet baik itu
kegiatan penawaran maupun pembelian. Ruang lingkup e-commerce meliputi 3
sisi yakni : 38
1. Business to Business (B2B)
Merupakan sistem
komunikasi bisnis antar pelaku bisnis atau dengan kata lain secara elektronik
antar perusahaan yang dilakukan secara rutin dan dalam kapasitas atau volume
produk yang besar. Aktivitas e-commerce dalam ruang lingkup ini
ditujukan untuk menunjang kegiatan para pelaku bisnis itu sendiri.
Karakteristik yang umum dalam lingkup B2B adalah :
38 Abdul Halim
Barkatullah, Bisnis E-Commerce (studi sistem keamanan dan hukum di
Indonesia),
Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2005, hal. 18.
a. Trading
partners yang sudah saling mengetahui dan antara mereka sudah
saling mengetahui dan antara mereka sudah terjalin hubungan yang
berlangsung cukup lama. Pertukaran informasi berlangsung diantara mereka dan
karena sudah sangat mengenal, maka pertukaran informasi dilakukan atas dasar
kebutuhan dan kepercayaan;
b. Pertukaran
yang dilakukan secara berulang-ulang dan berkala format data yang telah telah
disepakati. Jadi service yang digunakan antara kedua sistem tersebut
sama dan menggunakan standar yang sama pula;
c. Salah
satu pelaku tidak harus menunggu partners mereka lainnya untuk
mengirimkan data;
2. Business to Consumer (B2C)
Business to Consumer dalam
e-commerce merupakan suatu transaksi bisnis secara elektronik yang
dilakukan pelaku usaha dan pihak konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan
tertentu dan pada saat tertentu contohnya “internet mall”.
Konsumen pada lingkup ini merupakan konsumen akhir yang merupakan pemakai,
pengguna dan/atau pemanfaat barang dan jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha.
Permasalahan perlindungan konsumen terdapat dalam lingkup ini, karena produk
yang diperjualbelikan adalah produk barang dan jasa baik dalam bentuk berwujud
maupun dalam bentuk elektronik atau digital yang telah siap untuk dikonsumsi.
Perkembangan lingkup B2C ini membawa keuntungan tidak saja pada pelaku usaha
namun juga kepada pihak konsumen.
Karakteristik dari lingkup B2C
ini adalah :
a. Terbuka untuk umum, dimana informasi
disebarkan secara umum pula;
b. Service yang diberikan bersifat umum
sehingga mekanisme dapat digunakan oleh banyak orang;
Service
yang diberikan adalah berdasarkan permintaan konsumen; 3. Consumer to
Consumer (C2C)
Consumer to
Consumer merupakan transaksi bisnis secara elektronik yang
dilakukan antar konsumen untuk memnuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada
saat tertentu pula, lingkup C2C ini bersifat lebih mengkhusus karena transaksi
dilakukan oleh konsumen ke konsumen yang memerlukan transaksi. Internet telah
dijadikan sebagai sarana tukar menukar informasi tentang produk baik mengenai harga,
kualitas dan pelayanan. Selain itu customer juga dapat membentuk komunitas
pengguna/penggemar produk tersebut. Ketidakpuasan konsumen terhadap suatu
produk atau pelayanan, dengan cepat dapat tersebar kepada konsumen lain melalui
komunitas yang dibentuk, hal ini membawa dampak positip bagi konsumen karena
dapat menaikkan posisi tawar konsumen terhadap pelaku usaha. Sehingga pelaku
usaha dituntut untuk memberikan pelayanan yang lebih baik bagi konsumennya.
Undang-undang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE) nomor 11 tahun 2008 merupakan dasar hukum
utama bagi e-commerce di Indonesia. UU ITE ini disahkan pada tanggal 21
april 2008 dan mulai berlaku pada saat diundangkan (Pasal 54 ayat 1). Arti
penting dari UU ITE ini bagi transaksi e-commerce adalah :
a. Pengakuan
transaksi, informasi, dokumen dan tanda tangan elektronik dalam kerangka hukum
perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik
dapat terjamin.
b. Diklasifikasikannya
tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi pelanggaran hukum terkait
penyalahgunaan TI (Teknologi Informasi) disertai dengan sanksi pidananya.
c. UU
ITE berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada
di wilayah Indonesia maupun diluar Indonesia. Sehingga jangkauan UU ini tidak
hanya bersifat lokal saja tetapi juga internasional.
Selain
UU ITE, terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang
dapat menunjang
perlindungan konsumen dalam e-commerce, peraturan tersebut
adalah:
1. Undang-undang
nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
2. Undang-undang
nomor 12 tahun 2002 tentang hak cipta,
3. Undang-undang
nomor 14 tahun 2001 tentang paten,
4. Undang-undang
nomor 15 tahun 2001 tentang merek,
5. Undang-undang
nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran,
6. Undang-undang
nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan jo. Undang-undang nomor 10 tahun 1998
tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1992.
(E-COMMERCE)
A. Pelaksanaan Perlindungan Konsumen
Berdasarkan Peraturan
Perundang-Undangan
Konsumen dalam e-commerce
memiliki resiko yang lebih besar dari pada penjual atau merchant-nya.
Atau dengan kata lain hak-hak konsumen dalam transaksi e-commerce lebih
rentan untuk dilanggar. Hal ini disebabkan karena karakteristik dari e-commerce
sendiri, yakni dalam e-commerce tidak terjadi pertemuan secara fisik
antara konsumen dengan penjualnya yang kemudian dapat menimbulkan berbagai
permasalahan.
Sebagaimana disebutkan
diatas bahwa e-commerce menimbulkan berbagai permasalahan, maka dalam
pembahasan berikut akan dijabarkan berbagai permasalahan yang penting seputar e-commerce
dan pengaturan permasalahan tersebut menurut UUPK, UU ITE dan juga KUH Perdata.
Permasalahan tersebut sebagai berikut :
1. Privasi
Privasi adalah claim
of individuals, groups, or institution to determine for themselves when,
how, and what extent information about them is communicated to others. 39 Pengertian
privasi tidak sama dengan kerahasiaan (Confidentiality),
39 Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005,
hal.159.
privasi merupakan
konsep yang lebih luas dari sekedar kerahasiaan yang meliputi hak untuk bebas
dari gangguan, hak untuk tetap mandiri, hak untuk dibiarkan sendiri, hak untuk
mengontrol peredaran dari informasi tentang seseorang dan dalam hal apa saja informasi
tersebut harus diperoleh dan digunakan. 40
Pada umumnya ada tiga aspek dari privasi, yaitu: 41
a.
privasi
mengenai pribadi seseorang;
b.
privasi
dari data seseorang; dan
c.
privasi atas komunikasi seseorang.
Permasalahan yang
muncul dalam e-commerce adalah pelanggaran terhadap privasi dari data
tentang seseorang atau dengan kata lain disebut “data pribadi”,
pelanggaran ini biasanya dalam bentuk penyalahgunaan informasi-informasi yang
dikumpulkan atas anggota-anggota suatu organisasi/lembaga atau atas
pelanggan-pelanggan dari suatu perusahaan.
Pengumpulan data
pribadi konsumen dalam transaksi e-commerce dilakukan melalui media-media
berikut :
a. Cookies
Cookies adalah
suatu aplikasi kecil yang ditempatkan dalam hard drive seseorang ketika
mengunjungi suatu website/situs, cookies ini dapat mengumpulkan
informasi mengenai nomor kartu kredit, situs-situs yang dikunjungi, alamat e-mail,
minat maupun pola belanja. Informasi tersebut digunakan untuk melacak
kunjungankunjungan ke suatu situs serta untuk mengetahui apa yang disukai atau
tidak disukai oleh seorang pengunjung tentang
40 Ibid, hal.162.
41 Ibid,
hal.160.
situs tersebut. Apabila informasi-informasi yang
dikumpulkan oleh cookies digabungkan, maka akan dapat mengidentifikasi
seorang individu secara spesifik. b. Pendaftaran Online (Online Registration)
Kebanyakan situs-situs
yang melakukan penjualan barang/jasa mengharuskan pengunjung/konsumen melakukan
registrasi terlebih dahulu sebelum dapat melakukan transaksi jual beli atau
memanfaatkan fitur lengkap dari suatu situs. 42
Form registrasi dari suatu situs mewajibkan pengunjung untuk mengisi
informasi-informasi pribadi seperti nama, alamat e-mail, alamat dan kota
tempat tinggal, user name dan password, jenis kelamin, tanggal lahir,
penghasilan, pekerjaan. Bahkan ada beberapa situs yang mewajibkan konsumen
untuk memasukkan nomor kartu kreditnya. Jika hal-hal diatas tidak dilengkapi,
maka konsekuensinya adalah pengunjung/konsumen tidak dapat menikmati fitur
lengkap dari suatu situs atau konsumen tidak dapat melakukan transaksi jual
beli. Permasalahannya adalah, konsumen tidak mengetahui penggunaan dari data
pribadinya, terlebih lagi terhadap informasi-informasi sensitif seperti nama,
alamat dan nomor kartu kredit yang apabila disalahgunakan dapat membahayakan
dan merugikan pemilik informasi tersebut.
UU ITE sudah memberikan perlindungan
terhadap data pribadi seseorang, hal ini diatur dalam pasal 26. Dalam ayat 1
disebutkan bahwa:
“kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik
yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang
yang bersangkutan”.
42 Contoh situs
yang mengharuskan registrasi adalah bhineka.com, ebay.com, amazon.com.
Cakupan dari
pengertian data pribadi yang dianut oleh Pasal 26 ayat 1 dapat
ditemui dalam
penjelasannya, yakni :
a) Hak
untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.
b) Hak untuk
berkomunkasi dengan orang lain tanpa tindakan mematamatai.
c) Hak untuk
mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data
seseorang.
Perlindungan hukum terhadap
data pribadi oleh Pasal 26 UU ITE sudah cukup memadai, selain karena cakupan
pengertian data pribadi yang dianut cukup luas, juga memberikan hak mengajukan
gugatan kepada orang yang dirugikan atas penggunaan data pribadi orang yang
bersangkutan (UU ITE Pasal 26 ayat 2).
2. Klausula Baku
Dalam dunia usaha,
terdapat klausula baku / perjanjian baku yang menempatkan posisi tidak seimbang
antara pelaku usaha dan konsumen, yang pada akhirnya melahirkan suatu
perjanjian yang merugikan salah satu pihak yang dalam hal ini konsumen. UUPK
tidak merumuskan pengertian perjanjian baku tapi menggunakan istilah klausula
baku yang menurut Pasal 1 ayat (10) UUPK dirumuskan sebagai berikut :
“Klausula baku
adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen”
“UUPK tidak melarang
pelaku usaha untuk membuat klausula baku atas setiap dokumen dan/atau
perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan/ atau jasa, selama dan
sepanjang perjanjian baku dan/ atau klausul baku tersebut tidak mencantumkan
ketentuan sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat (1), serta tidak “berbentuk”
sebagaimana dilarang dalam pasal 18 ayat (2) UUPK tersebut”.
Tujuan penggunaan
klausula baku dalam kegiatan bisnis sebenarnya adalah untuk menghemat waktu
dalam setiap kegiatan jual beli, amat tidak efisien apabila setiap terjadi
transaksi jual beli antara pihak penjual dan pembeli mereka membicarakan
mengenai isi kontrak jual beli. Oleh karena itu dalam suatu kontrak standard
dicantumkan klausul-klausul yang umumnya digunakan dalam kontrak jual beli.
Dalam e-commerce,
penggunaan klausula baku adalah hal yang mutlak. Karena dalam e-commerce
para pihak tidak berinteraksi secara langsung melainkan berinteraksi
menggunakan media elektronik, salah satunya adalah internet. Saat konsumen
hendak membeli suatu barang pada suatu website, maka penjual/merchant
akan menyodorkan suatu perjanjian (term and condition) yang berisikan
mengenai persyaratan-persyaratan seperti layaknya perjanjian jual beli pada
umumnya. Perjanjian (term and condition) inilah yang dapat dikategorikan
sebagai klausula baku, karena isi dari perjanjian tersebut ditetapkan secara
sepihak
43Gunawan Widjaja
dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta,
2000, hal. 57.
oleh penjual/merchant.
Disini pihak konsumen tidak bisa memprotes isi dari pada perjanjian, karena
dalam website yang menampilkan perjanjian tersebut tidak mempunyai opsi
(pilihan) untuk merubah perjanjian. Disini konsumen hanya mempunyai dua pilihan
yakni menerima atau membatalkan pesanan.
Dalam UUPK penggunaan
klausula baku pada prinsipnya tidak dilarang, namun yang perlu dikhawatirkan
adalah pencantuman klausula eksonerasi (exemption clause) dalam
perjanjian tersebut. Klausula eksonerasi adalah klausula yang mengandung
kondisi membatasi, atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang
semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penyalur produk (penjual). 44
UUPK sendiri memberikan persyaratan mengenai pencantuman klausula baku yang
diatur dalam pasal 18 UUPK, yakni sebagai berikut :
1) Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila :
a. Menyatakan
pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
b. Menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen.
c. Menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas
barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen.
44 Shidarta,
op.cit, h.147.
d. Menyatakan
pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
e. Mengatur
perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen.
f. Memberi
hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi manfaat
harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
g. Menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan
dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
h. Menyatakan
bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
2) Pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
3) Setiap
klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian
yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku
yang bertentangan dengan undang-undang ini.
Walaupun UUPK secara
jelas mengatur mengenai tata cara pembuatan klausula baku, namun dalam praktek
masih terjadi penyimpangan terlebih lagi dalam e-commerce dimana segala
kegiatan transaksi dilakukan dengan proses “klik” tanpa adanya proses
tawar-menawar. Klausula eksenorasi dalam e-commerce banyak terdapat
dalam hal :
a.
Pilihan
hukum (choice of law)
Klausula mengenai
pilihan hukum pada umumnya terjadi pada e-commerce yang bersifat lintas
batas Negara. Pilihan hukum menyangkut hukum negara mana yang akan digunakan
bila terjadi sengketa, dalam hal ini sengketa antara konsumen dan pelaku usaha
yang berkedudukan di luar negeri.
UUPK memiliki
kelemahan, yakni tidak dapat menjangkau pelaku usaha yang berkedudukan di luar
negeri. Hal ini terlihat dalam rumusan Pasal 1 butir 3 UUPK yang menyatakan :
“Pelaku usaha adalah
setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
Berdasarkan pengertian
pelaku usaha di atas maka ruang lingkup dari UUPK hanyalah pelaku usaha yang
bergerak di dalam wilayah hukum Republik Indonesia. UU ITE sudah mengatur
perihal mengenai pilihan hukum yakni
dicantumkan dalam Pasal
18 ayat (2) dimana disebutkan bahwa para pihak mempunyai kewenangan untuk
memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang
dibuatnya, namun UU ITE tidak mengatur perihal mengenai klausula baku
sebagaimana diatur oleh UUPK, sehingga mau tidak mau konsumen tunduk pada
ketentuan yang dikeluarkan oleh pelaku usaha.
Contoh penggunaan
klausul baku tentang pilihan hukum terdapat dalam EULA (End User License
Agreement) yang dikeluarkan oleh amazon.com yang berbunyi “bahwa segala
transaksi yang terjadi dengan amazon.com berlaku the laws of state of
Washington.” 45
Dengan
demikian konsumen yang berasal dari negara manapun yang melakukan
transaksi dengan amazon.com tunduk pada hukum negara bagian Washington. Hal ini
tentu memberatkan konsumen karena apabila ia dirugikan oleh pelaku usaha, maka
ia harus mengajukan gugatannya ke negara bagian Washington dan hal ini tentu
memakan biaya yang tidak sedikit. Seharusnya UU ITE sebagai dasar hukum
transaksi e-commerce yang telah menjangkau transaksi e-commerce internasional
mencantumkan mengenai perihal pilihan hukum ini, karena ketentuan pasal 18 ayat
2 UU ITE ini tidak memberikan perlindungan kepada konsumen.
Walaupun Pasal 18 ayat
2 UU ITE mempunyai kelemahan sebagaimana disebutkan diatas, namun terdapat
ketentuan internasional yang dapat digunakan untuk memberikan perlindungan
kepada konsumen dalam e-commerce internasional. Ketentuan tersebut
terdapat dalam Konvensi Roma 1980 Pasal 5 ayat 2 yang menegaskan bahwa:
45 www.amazon.com,
bahan diakses pada tanggal 4 mei 2010.
“dalam kontrak
bisnis-konsumen, pilihan hukum yang dibuat di dalam kontrak tidak dapat
menghilangkan hak-hak konsumen atas perlindungan konsumen dari Negara tempat ia
memiliki kediaman tetap”.
Sejalan dengan
ketentuan yang terkandung dalam konvensi roma 1980 tersebut, berlaku asas bahwa
hukum yang dipilih para pihak dalam kontrak tidak dapat mengesampingkan
kaidah-kaidah memaksa (mandatory laws) dari Negara yang meiliki closest
connection dengan kontrak. 46Dengan
adanya ketentuan ini, walaupun pihak konsumen menggugat pelaku usaha di Negara
lain, konsumen tersebut tetap mendapatkan hak-haknya sebagai konsumen
sebagaimana diberikan oleh UUPK.
b.
Pembagian
resiko yang tidak berimbang
Pembagian resiko yang
tidak berimbang banyak terjadi dalam e-commerce, khususnya dalam
transaksi pembayaran. Biasanya konsumen harus terlebih dahulu membayar
secara penuh (menggunakan kartu kredit atau transfer antar bank) atas barang
yang dibeli, barulah pesanannya akan diproses oleh pelaku usaha atau penjual.
Hal ini tentu berisiko tinggi karena membuka peluang terlambatnya pengiriman
barang yang dipesan, isi dan mutu barang tidak sesuai dengan pesanan atau
bahkan barang sama sekali tidak sampai di tangan konsumen. Klausula baku
mengenai pembagian resiko ini banyak digunakan dengan alas an melindungi pelaku
usaha dari konsumen yang tidak bertanggung jawab, namun di sisi lain klausula
ini dapat merugikan kepentingan konsumen karena jaminan bahwa pesanan akan
diproses setelah pembayaran hanya berasal
46 Edmon Makarim,
opcit, h. 379
dari pelaku usaha saja.
Dalam Pasal 16 UUPK, terdapat pengaturan mengenai kewajiban pelaku usaha untuk
memenuhi janji dalam hal menawarkan barang atau jasa melalui pesanan, dimana
disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang untuk:
1) Tidak
menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang
dijanjikan.
2) Tidak menepati
janji atas suatu pelayanan atau prestasi.
Dengan adanya Pasal 16
ini, maka pelaksanaan janji yang diberikan oleh pelaku usaha dapat lebih
terjamin. Selain jaminan yang diberikan oleh Pasal 16, faktor kepercayaan juga
berlaku disini karena kepercayaan merupakan dasar dari e-commerce.
3. Otensitas Subjek Hukum
Otensitas sama artinya
dengan autentik, autentik menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia artinya dapat
dipercaya, asli atau sah. 47
Masalah otensitas para subyek hukum dalam e-commerce menjadi isu yang
penting untuk dibahas karena menyangkut keabsahan perjanjian yang dibuat
melalui e-commerce. Isu yang menyangkut otensitas adalah :
a.
Kecakapan
para pihak
Dasar hukum bagi
perjanjian di Indonesia diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Dalam pasal 1320
ini terdapat 4 syarat untuk sahnya suatu perjanjian yakni :
1) Kesepakatan
para pihak,
47
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai pustaka,
Jakarta, 1976, h. 65.
2)
Kecakapan,
3)
Suatu
hal tertentu
4)
Suatu
sebab yang halal
Syarat 1 dan 2 disebut
syarat subyektif karena menyangkut individu yang membuat perjanjian, sedangkan
syarat 3 dan 4 merupakan syarat obyektif. Tidak terpenuhinya salah satu syarat
diatas dalam suatu perjanjian akan menimbulkan dampak hukum yang berbeda
tergantung syarat mana yang tidak dipenuhi. Apabila syarat 1 dan 2 tidak
dipenuhi maka akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut dapat dibatalkan,
sedangkan apabila syarat 3 dan 4 yang tidak dipenuhi maka akibat hukumnya
adalah perjanjian tersebut batal demi hukum.
Pada asasnya semua
orang cakap untuk membuat perikatan/perjanjian, kecuali jika ia oleh
undang-undang dinyatakan tidak cakap. Menurut undang-undang, orang yang tak
cakap adalah mereka yang belum dewasa (genap berusia 21 tahun atau mereka yang
belum berusia 21 tahun tetapi sudah menikah) dan mereka yang di bawah
pengampuan (gila, dungu, mata gelap, lemah akal dan pemboros). 48
Namun dalam e-commerce sangat sulit untuk menentukan seseorang yang
melakukan transaksi telah dewasa atau tidak berada di bawah pengampuan karena
proses penawaran dan penerimaan tidak dilakukan secara fisik melainkan melalui
suatu media elektronik yang rawan penipuan. Dalam e-commerce, sering
terjadi dimana konsumen yang belum dewasa melakukan pembelian dan pesanan
tersebut diproses oleh penjualnya walaupun penjual mengetahui bahwa konsumen
tersebut belum dewasa, ini terlihat dalam forum jual beli classyfield.chip.co.id
48 Abdulkadir
Muhammad, op . cit , h. 250.
dimana 30 % dari
pembeli dalam forum tersebut adalah anak-anak usia 15-20
Dalam Rancangan
Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Informasi dan Transaksi Elektronik
(RPP ITE), hal ini telah mendapat pengaturan. Dalam Pasal 2 RPP ITE diatur
mengenai syarat sahnya suatu transaksi elektronik, syarat tersebut adalah :
b.
Dilakukan oleh subyek hukum yang cakap
atau yang berwenang mewakilinya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
c.
Obyek
transaksi tidak boleh bertentangan dengan UU
d.
Dilakukan
dengan kontrak elektronik
e.
Dilaksanakan
dengan sistem elektronik yang disepakati.
Berdasarkan persyaratan
diatas maka jelas bahwa apabila syarat kecakapan tidak dipenuhi maka transaksi
elektronik tersebut tidak sah/ tidak memiliki kekuatan hukum sehingga
berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Kemudian
dalam Pasal 3 RPP ITE disebutkan mengenai kewajiban penyelenggara transaksi
elektronik untuk melakukan langkah-langkah yang memadai untuk menguji keaslian
identitas dan kewenangan konsumen yang melakukan transaksi elektronik dengan
berbagai metode yang dimungkinkan.
Dengan adanya
pengaturan sebagaimana disebutkan diatas, maka jelas bahwa untuk melakukan
transaksi elektronik harus memenuhi syarat kecakapan sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
html#post2063158,
bahan diakses tanggal 1 Mei 2010.
4. Validitas subyek hukum
Validitas dalam e-commerce
adalah hal yang sangat penting, pengertian validitas ini adalah sejauh mana
kebenaran akan keberadaan suatu subyek hukum. 50
Konsep validitas dalam e-commerce menjadi penting karena dapat mencegah
terjadinya penipuan, untuk mengetahui kemana ganti rugi harus diajukan dan
menambah kepercayaan konsumen untuk berbelanja. Dalam e-commerce banyak
cara yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk menunjukkan validitasnya
misalnya :
a.
Dengan
pencantuman alamat
Biasanya website
e-commerce mencantumkan alamatnya di website mereka dengan tujuan
untuk memberitahu kepada calon konsumen mereka bahwa mereka betul-betul ada,
sehingga konsumen merasa aman untuk berbelanja di website tersebut.
Selain itu, dengan dicantumkannya alamat penjual maka pembeli mengetahui
kemana harus mengajukan ganti rugi apabila terjadi kerusakan terhadap barang
yang dibeli atau apabila barang tidak sampai ke tangan konsumen.
b.
Mencantumkan
logo perusahaan
Pencantuman logo
perusahaan dalam suatu website, menandakan bahwa website tersebut
benar-benar ada, karena sudah diotorisasi oleh CA (Certification Authority).
c.
Feed back dari pelanggan.
50
http://violetatniyamani.blogspot.com/2007/09/teori-validitas.html, bahan
diakses tanggal 5 Mei
2010.
Ini adalah salah satu
bentuk validitas yang paling sederhana namun tingkat validitasnya hampir
sempurna. Feed back ini diberikan oleh pelanggan yang merasa puas dengan
pelayanan, kecepatan pengiriman barang yang dipesan dan kualitas barang yang
dibeli dari suatu website, feed back yang menyatakan kepuasaan
pelanggan terhadap suatu website dalam dunia internet dikenal dengan
istilah positive feed back. Semakin banyak konsumen yang puas terhadap
suatu website e-commerce, semakin tinggi reputasi dan validitas
website tersebut, sehingga calon pelanggan akan semakin yakin akan
pelayanan website tersebut. Sistem ini sangat bagus, karena pelaku usaha
dituntut untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya. Dalam e-commerce,
apabila suatu website menerima feed back yang buruk/negatif dari
pelanggannya maka dapat dipastikan bahwa website tersebut akan sepi oleh
pembeli.
Validitas erat
kaitannya dengan CA (Certification Authority), namun dalam UU ITE tidak
menggunakan istilah CA tapi menggunakan istilah “lembaga sertifikasi
keandalan”, dimana dalam Pasal 1 angka 11 diartikan sebagai lembaga independent
yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan dan diawasi oleh
pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan
dalam e-commerce. Salah satu tugas CA adalah melakukan verifikasi,
pemeriksaan dan pembuktian identitas pengguna dan pelanggan atau dengan kata
lain CA bertugas untuk memastikan dan menjamin kebenaran keberadaan pengguna
dan pelanggan sehingga terjamin otentisitasnya. Yang dimaksud dengan pengguna
dan pelanggan adalah para pihak yang terlibat dalam transaksi e-commerce.
Peranan CA untuk
menjamin otentisitas para pihak yang terlibat dalam e-commerce adalah
untuk mencegah penipuan-penipuan yang sering terjadi dalam transaksi e-commerce
seperti ”phising”. Phising sering diartikan sebagai suatu cara
untuk memancing seseorang ke halaman tertentu. phising tidak jarang
digunakan oleh para pelaku kriminal untuk memancing seseorang agar mendatangi
alamat web melalui e-mail, salah satu tujuannya adalah untuk
menjebol informasi yang sangat pribadi dari sang penerima email, seperti
password, nomor kartu kredit, dan lain-lain dengan cara mengirimkan informasi
yang seakan-akan dari penerima e-mail mendapatkan pesan dari sebuah situs,
lalu mengundangnya untuk mendatangi sebuah situs palsu. Situs palsu dibuat
sedemikian rupa yang penampilannya mirip dengan situs aslinya, lalu ketika
korban mengisikan password maka pada saat itulah penjahat ini mengetahui
password korban. Penggunaan situs palsu ini disebut juga dengan istilah pharming. 51
Bila suatu situs e-commerce menggunakan jasa CA, maka otentisitas dari situs
tersebut akan terjamin, sehingga konsumen dapat bertransaksi dengan lebih aman.
Selain mengatur tentang
CA, UU ITE secara implisit mengatur kejahatan mengenai phising yakni tercantum
dalam Pasal 35, dimana disebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja dan
tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan,
penghilangan, pengrusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
dengan tujuan agar informasi elektronik tersebut dianggap seolah-olah otentik”,
dimana pelanggaran terhadap
51
http://www.total.or.id/info.php?kk=phising, bahan diakses tanggal 15 Mei 2010.
Pasal 35 ini dikenakan
pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak 12 miliar
rupiah (Pasal 51 ayat 1).
Namun UU ITE tidak
mewajibkan suatu situs e-commerce untuk menggunakan jasa CA, ini
terlihat dalam Pasal 10 ayat 1 dimana disebutkan “Setiap pelaku usaha yang
menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga
Sertifikasi keandalan” (garis bawah dari penulis). Dari rumusan pasal tersebut
dapat ditafsirkan bahwa pelaku usaha tidak diwajibkan untuk menggunakan jasa
CA, sehingga tidak semua situs e-commerce dijamin otentisitasnya oleh CA.
Seharusnya UU ITE mewajibkan sertifikasi setiap situs e-commerce untuk
memberikan perlindungan bagi konsumen dari penipuan.
5. Obyek E-Commerce
Yang menjadi obyek e-commerce
adalah barang atau jasa yang diperjual belikan oleh pelaku usaha kepada setiap
orang yang membeli barang dan jasa melalui e-commerce. Namun tidak semua
barang atau jasa dapat diperjualbelikan dalam e-commerce. UU ITE dan
UUPK tidak mengatur mengenai syarat-syarat barang atau jasa yang diperbolehkan
untuk diperjualbelikan dalam e-commerce, namun dengan melihat ketentuan
Pasal 1320 KUHPerdata terdapat ketentuan yang mengatur mengenai barang-barang
yang boleh untuk diperdagangkan yakni : 52
1) Barang
itu adalah barang yang dapat diperdagangkan, baik yang ada sekarang maupun yang
akan ada.
52 Mariam Darus
Badrulzaman et al, op.cit, h. 169.
2) Tidak
bertentangan dengan undang-undang dan ketertiban umum.
Apabila kedua hal
tersebut diatas dilanggar, maka perjanjian jual beli dalam transaksi barang
dinyatakan batal demi hukum.
UUPK tidak mengatur
mengenai persyaratan tentang barang atau jasa yang boleh diperdagangkan,
melainkan hanya mengatur mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
dalam memasarkan barang atau jasa (BAB IV UUPK Pasal 8-17). Namun dari
ketentuan yang tercantum dalam bab IV tersebut, dapat dijadikan acuan mengenai
barang atau jasa yang boleh untuk diperdagangkan. Dalam Pasal 8 ayat 1,
disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang untuk mengedarkan barang atau jasa yang
:
a. Tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
b. Tidak
sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang diyatakan dalam label atau etiket barang.
c. Tidak
sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya.
d. Tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
e. Tidak
sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses, pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut.
f. Tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label , etiket, keterangan, iklan
atau promosi penjualan barang/jasa tersebut.
g. Tidak
mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang
paling baik atas barang tersebut.
h. Tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal”
yang dicantumkan dalam label.
i.
Tidak memasang label atau membuat
penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat
pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan
harus dipasang/dibuat.
j.
Tidak
mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan dalam
ayat 2 disebutkan
bahwa pelaku usaha
dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang
dimaksud. Dalam ayat 3 disebutkan
bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan persediaan farmasi dan pangan
yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan
informasi secara lengkap dan benar. Selain Pasal 8, terdapat juga Pasal lain
yang dapat dijadikan acuan mengenai barang-barang yang
diperbolehkan
dalam transaksi e-commerce yakni terdapat dalam :
a. Pasal 9 melarang
melakukan manipulasi produk atau jasa.
b. Pasal 10
melarang memberikan informasi yang tidak benar atau menyesatkan.
c. Pasal
11 mengatur mengenai barang-barang yang dijual secara lelang atau obral.
d. Pasal
13 dan 14 mengatur mengenai perihal pemberian hadiah terhadap barang/jasa yang
dibeli.
e. Pasal
16 mengatur tentang keharusan pelaku usaha untuk menepati janji dalam hal
pembelian barang dibeli melalui pesanan. Hal ini banyak terjadi dalam transaksi
e-commerce dimana pembeli membeli barang dengan cara memesan.
f. Pasal 17
mengatur secara khusus tentang periklanan
Walaupun UU ITE tidak
mengatur mengenai kriteria barang yang boleh diperdagangkan dalam transaksi
e-commerce, namun UU ITE mewajibkan pelaku usaha untuk menyediakan informasi
yang lengkap dan benar berkaitan dengan produk yang ditawarkan (Pasal 9) dan
melarang penyebaran berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian
konsumen dalam transaksi elektronik (Pasal 28 ayat 1).
6. Tanggung Jawab Para Pihak
Transaksi e-commerce
dilakukan oleh pihak yang terkait, walaupun pihakpihaknya tidak bertemu secara
langsung satu sama lain melainkan berhubungan melalui media internet. Dalam
e-commerce, pihak-pihak yang terkait tersebut antara lain : 53
a. Penjual
atau merchant yang menawarkan sebuah produk melalui Internet\ sebagai
pelaku usaha.
53 Edmon Makarim,
op . cit , h. 65.
b. Pembeli
yaitu setiap orang tidak dilarang oleh undang-undang, yang menerima penawaran
dari penjual atau pelaku usaha dan berkeinginan melakukan transaksi jual beli
produk yang ditawarkan oleh penjual.
c. Bank
sebagai pihak penyalur dana dari pembeli atau konsumen kepada penjual atau
pelaku usaha/merchant, karena transaksi jual beli dilakukan secara
elektronik, penjual dan pembeli tidak berhadapan langsung, sebab mereka berada
pada lokasi yang berbeda sehingga pembayaran dapat dilakukan melalui perantara
dalam hal ini yaitu Bank.
d. Provider sebagai penyedia
jasa layanan akses Internet.
Pada dasarnya
pihak-pihak dalam jual beli secara elektronik tersebut di atas, masing-masing
memiliki hak dan kewajiban, penjual/pelaku usaha/merchant merupakan
pihak yang menawarkan produk melalui Internet, oleh karena itu penjual
bertanggung jawab memberikan informasi secara benar dan jujur atas produk yang
ditawarkan kepada pembeli atau konsumen (UU ITE Pasal 9). Di samping itu,
penjual juga harus menawarkan produk yang diperkenankan oleh undang-undang
maksudnya barang yang ditawarkan tersebut bukan barang yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, tidak rusak atau mengandung cacat tersembunyi,
sehingga barang yang ditawarkan adalah barang yang layak untuk diperjualbelikan
(UUPK Pasal 8). Penjual juga bertanggung jawab atas pengiriman produk atau jasa
yang telah dibeli oleh seorang konsumen. Dengan demikian, transaksi jual beli
termaksud tidak menimbulkan kerugian bagi siapa pun yang membelinya. Di sisi
lain, seorang penjual atau pelaku usaha memiliki hak untuk mendapatkan
pembayaran dari pembeli/konsumen atas harga
barang yang dijualnya
dan juga berhak untuk mendapatkan perlindungan atas tindakan pembeli/konsumen
yang beritikad tidak baik dalam melaksanakan transaksi jual beli elektronik
ini. Jadi, pembeli berkewajiban untuk membayar sejumlah harga atas produk atau
jasa yang telah dipesannya pada penjual tersebut.
Seorang pembeli
memiliki kewajiban untuk membayar harga barang yang telah dibelinya dari
penjual sesuai jenis barang dan harga yang telah disampaikan antara penjual dan
pembeli tersebut, selain itu mengisi data identitas diri yang sebenar-benarnya
dalam formulir penerimaan. Di sisi lain, pembeli/konsumen berhak mendapatkan
informasi secara lengkap atas barang yang akan dibelinya itu. Pembeli juga
berhak mendapat perlindungan hukum atas perbuatan penjual/pelaku usaha yang
ber’itikad tidak baik.
Bank sebagai perantara
dalam transaksi jual beli secara elektronik, berkewajiban dan bertanggung jawab
sebagai penyalur dana atas pembayaran suatu produk dari pembeli kepada penjual
produk itu karena mungkin saja pembeli/konsumen yang berkeinginan membeli
produk dari penjual melalui Internet yang letaknya berada saling berjauhan
sehingga pembeli termaksud harus mengunakan fasilitas Bank untuk melakukan
pembayaran atas harga produk yang telah dibelinya dari penjual, misalnya dengan
proses pentransferan dari rekening pembeli kepada rekening penjual (acount
to acount).
Provider merupakan
pihak lain dalam transaksi jual beli secara elektronik, dalam hal ini provider
memiliki kewajiban atau tanggung jawab untuk menyediakan layanan akses 24 jam
kepada calon pembeli untuk dapat melakukan transaksi jual beli secara
elektronik melalui media Internet dengan penjualan yang
menawarkan produk lewat
Internet tersebut, dalam hal ini terdapat kerja sama antara penjual/pelaku
usaha dengan provider dalam menjalankan usaha melalui Internet ini.
Transaksi jual beli
secara elektronik merupakan hubungan hukum yang dilakukan dengan memadukan
jaringan (network) dari sistem yang informasi berbasis computer dengan
sistem komunikasi yang berdasarkan jaringan dan jasa tekomunikasi. Hubungan
hukum yang terjadi dalam transaksi jual beli secara elektronik tidak hanya
terjadi antara pengusaha dengan konsumen saja, tetapi juga terjadi pada
pihak-pihak dibawah ini: 54
a. Business
to business, merupakan transaksi yang terjadi antar
perusahaan dalam hal ini, baik pembeli maupun penjual adalah sebuah
perusahaan dan bukan perorangan. Biasanya transaksi ini dilakukan karena mereka
telah saling mengetahui satu sama lain dan transaksi jual beli tersebut
dilakukan untuk menjalin kerja sama antara perusahaan itu.
b. Costumer
to costumer, merupakan transaksi jual beli yang
terjadi antar individu dengan individu yang akan saling menjual barang.
c. Custumer
to business, merupakan transaksi jual beli yang
terjadi antar individu sebagai penjual dengan sebuah perusahaan sebagai
pembelinya.
d. Costumer
to goverment, merupakan transaksi jual beli yang
dilakukan antar individu dengan pemerintah, misalnya, dalam pembayaran
pajak.
Dengan demikian, pihak-pihak yang
dapat terlibat dalam satu transaksi
jual beli secara
elektronik, tidak hanya antara individu dengan individu tetapi juga
54 Edmon Makarim,
op . cit , h. 75.
dengan sebuah
perusahaan, perusahaan dengan perusahaan atau bahkan antara individu dengan
pemerintah, dengan syarat bahwa para pihak termasuk secara perdata telah
memenuhi persyaratan untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum dalam hal ini
hubungan hukum jual beli. 55
Pada dasarnya proses
transaksi jual beli secara elektronik tidak jauh berbeda dengan jual beli
biasa, sebagai berikut: 56
a. Penawaran,
yang dilakukan oleh penjual atau pelaku usaha melalui website pada
Internet. Penjual atau pelaku usaha menyediakan strorefront yang berisi
catalog produk dan pelayanan yang akan diberikan. Masyarakat yang memasuki website
pelaku usaha tersebut dapat melihat barang yang ditawarkan oleh penjual. Salah
satu keuntungan jual beli melalui took online ini adalah bahwa pembeli
dapat berbelanja kapan saja dan dimana saja tanpa dibatasi ruang dan waktu.
b. Penawaran
dalam sebuah website biasanya menampikan barang-barang yang ditawarkan,
harga, nilai rating atau poll otomatis tentang barang yang diisi
oleh pembeli sebelumnya, spesifikasi barang termasuk menu produk lain yang
berhubungan. Penawaran melalui Internet terjadi apabila pihak lain yang
mengunakan media Internet memasuki situs milik penjual atau pelaku usaha yang
melakukan penawaran, oleh karena itu apabila seseorang tidak menggunakan media
Internet dan memasuki situs milik pelaku usaha yang
menawarkan sebuah produk maka
tidak dapat dikatakan ada penawaran.
Dengan demikian, penawaran
melalui media Internet hanya dapat terjadi
55 Edmon Makarim,
loc . cit .
56 Edmon
Makarim, Op . cit , h. 82.
apabila seseorang membuka situs
yang menampikan sebuah tawaran melalui
internet tersebut.
c. Penerimaan,
dapat dilakukan tergantung penawaran yang terjadi. Apabila penawaran dilakukan
melalui e-mail address, maka penerima dilakukan melalui e-mail,
karena penawaran hanya ditujukan sebuah e-mail tersebut yang ditujukan
untuk seluruh rakyat yang membuka website yang berisikan penawaran atas
suatu barang yang ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha. Setiap orang yang
berminat untuk membeli barang yang ditawarkan itu dapat membuat kesepakatan
dengan penjual atau pelaku usaha yang menawarkan barang tersebut. Pada
transaksi jual beli secara elektronik khususnya melalui website,
biasanya calon pembeli akan memilih barang tertentu yang ditawarkan oleh
penjual atau pelaku usaha, dan jika calon pembeli atau konsumen itu tertarik
untuk membeli salah satu barang yang ditawarkan, maka barang itu akan disimpan
terlebih dahulu sampai calon pembeli/konsumen merasa yakin akan pilihannya,
selanjutnya pembeli/konsumen akan memasuki tahap pembayaran.
d. Pembayaran
dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui
fasilitas Internet namun tetap bertumpu pada system keuangan nasional, yang
mengacu pada sistem keuangan lokal. Klasifikasi cara pembayaran adalah sebagai
berikut:
1) Transaksi
model ATM, sebagai transaksi yang hanya melibatkan intitusi finansial dan
pemegang account yang akan melakukan pengambilan atau deposit uangnya
dari account masing-masing.
\
2) Pembayaran
dua pihak tanpa perantara, yang dapat dilakukan langsung antar kedua pihak
tanpa perantaraan mengunakan uang nasionalnya.
3) Pembayaran
dengan perantaraan pihak ketiga, umumnya merupakan proses pembayaran yang
menyangkut debet, kredit ataupun cek masuk. Metode pembayaran yang dapat
digunakan antara lain: sistem pembayaran melalui kartu kredit online
serta sistem pembayaran check in line. Apabila kedudukan penjual dengan
pembeli berbeda, maka pembayaran dapat dilakukan melalui cash account
to account atau pengalihan dari rekening pembeli pada rekening penjual.
berdasarkan kemajuan teknologi, pembayaran dapat dilakukan melalui kartu kredit
pada formulir yang disediakan oleh penjual dalam penawarannya. Pembayaran dalam
transaksi jual beli secara elektronik ini sulit untuk dilakukan secara
langsung, karena adanya perbedaan lokasi antar penjual dengan pembeli,
dimungkinkan untuk dilakukan.
e. Pengiriman,
merupakan suatu proses yang dilakukan setelah pembayaran atas barang yang telah
ditawarkan oleh penjual kepada pembeli, dalam hal ini pembeli berhak atas
penerimaan barang termaksud. Pada kenyataannya barang yang dijadikan objek
perjanjian dikirimkan oleh penjual kepada pembeli dengan biaya pengiriman
sebagaimana telah diperjanjikan antar penjual dan pembeli.
Berdasarkan proses
transaksi jual beli secara elektronik yang telah diuraikan di atas yang telah
menggambarkan bahwa ternyata jual beli tidak hanya dapat dilakukan secara
konvensional, dimana antara penjual dengan pembeli saling bertemu secara
lansung, namun dapat juga hanya melalui media Internet, sehingga orang yang
saling berjauhan atau berada pada lokasi yang berbeda tetap dapat melakukan
transaksi jual beli tanpa harus bersusah payah untuk saling bertemu secara
langsung, sehingga meningkatkan efektifitas dan efisiensi waktu serta biaya
baik bagi pihak penjual maupun pembeli.
Pasal 15 UU ITE
menjelaskan bahwa sistem penyelenggaraan informasi dan transaksi elektronik
harus dilakukan secara aman, andal dan dapat beroperasi sebagaimana mestinya.
penyelenggaraan sistem elektronik bertanggung jawab atas sistem yang
diselenggarakannya. Pasal 16 UUITE menjelaskan bahwa sepanjang tidak ditentukan
lain oleh undang-undang tersendiri, setiap penyelenggaraan system elektronik
wajib mengoperasikan sistem elektronik secara minimum, yang harus dapat
dilakukan oleh penyelenggara sistem elektronik adalah:
i.
Dapat menampilkan kembali informasi
elektronik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem elektronik yang telah
berlangsung;
ii.
Dapat melindungi otentifikasi,
integritas, rahasia, ketersediaan, dan akses dari informasi elektronik dalam
penyelenggaraan system elektronik tersebut;
iii.
Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur
atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
iv.
Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk
dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang
bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan
v.
Memiliki fitur untuk menjaga kebaruan,
kejelasan, dan pertanggungjawaban prosedur atau petunjuk tersebut secara
berkelanjutan;
Dalam Pasal 9 UUITE
dijelaskan bahwa “pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elekronik
harus menyediakan informasi yang dilengkap dan benar berkaitan dengan syarat
kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Dalam Pasal 10 ayat (1) UUITE
dijelaskan bahwa “setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi
Elektronik dapat disertifikasi oleh lembaga Sertifikasi keandalan”. Dalam Pasal
10 ayat (2) UUITE menyebutkan “ketentuan mengenai pembentukan Lembaga
Sertifikasi keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan pemerintah”.
Terkait dengan tanggung
jawab seseorang mengenai tanda tangan elektronik maka dalam Pasal 12 ayat (1)
UU ITE disebutkan bahwa “setiap orang yang terlibat dalam tanda tangan
elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas tanda tangan elektronik yang
digunakannya”. Dalam Pasal 12 ayat (2) UU ITE dijelaskan bahwa “pengamanan
tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
meliputi ;
i. Sistem tidak dapat diakses oleh orang lain
yang tidak berhak ;
ii. Penanda
tangan harus menerapkan prinsip kehati-hatian untuk menghindari penggunaan
secara tidak sah terhadap data terkait pembuatan tanda tangan elektronik ;
iii. Penanda
tangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara yang dianjurkan oleh
penyelenggara tanda tangan elektronik jika ;
iv. Penanda
tangan mengetahui bahwa data pembuatan tanda tangan elektronik telah di bobol;
atau
v. Keadaan
yang diketahui oleh penada tangan dapat menimbulkan resiko yang berarti,
kemungkinan akibat bobolnya data pembentukan tanda tangan elektronik.
vi. Dalam hal
sertifikasi digunakan untuk
mendukung tanda tangan
elektronik,
penanda tangan harus memastikan kebenaran dan keutuhan semua informasi yang
terkait dengan sertifikasi elektronik tersebut.
Pasal 12 ayat (3) UUITE
juga menjelaskan bahwa “setiap orang yang melakukan pelanggaran ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertanggung jawab atas segala kerugian dan
konsekuensi hukum yang timbul. Artinya setiap orang bertanggung jawab atas
segala kerugian yang timbul akibat pelanggaran yang dilakukan terhadap
pemberian pengamanan atas tanda tangan elektronik tersebut.
B. Bentuk-Bentuk
Kerugian Konsumen dalam E-Commerce
Transaksi melalui
internet memberikan kemudahan, kenyamanan dan kecepatan dalam setiap transaksi
yang dilakukan hal inilah yang mendorong
pesatnya pertumbuhan
e-commerce di Indonesia. Namun terlepas dari kebaikan e-commerce, tidak menutup
kemungkinan timbulnya kerugian terhadap pihak konsumen. Kerugian yang diderita
konsumen dapat berupa :
1. Wanprestasi
Transaksi e-commerce
merupakan perjanjian jual beli sebagaimana yang dimaksud oleh Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Karena merupakan suatu perjanjian maka melahirkan
juga apa yang disebut sebagai prestasi, yaitu kewajiban suatu pihak
untuk melaksanakan hal-hal yang ada dalam suatu perjanjian. Adanya prestasi
memungkinkan terjadinya wanprestasi atau tidak dilaksanakannya prestasi
atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak kepada para
pihak. Wanprestasi yang dilakukan oleh pihak penjual merupakan kerugian bagi
pihak konsumen. Bentuk-bentuk dari pada wanprestasi yang dilakukan oleh pelaku
usaha ini antara lain : 57
a. Tidak Melakukan Apa Yang Disanggupi Akan
Dilakukan
Dalam transaksi
e-commerce, penjual mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang yang dijual
kepada pembeli dan kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram dan
menanggung cacat-cacat tersembunyi. Jika penjual tidak melaksanakan kedua
kewajibannya tersebut, penjual dapat dikatakan wanprestasi. Contohnya saja toko
online kakilima.com yang menawarkan cakes (kue ulang tahun). Kaki lima
menjanjikan untuk mengantar pesanan pembeli dalam waktu satu minggu setelah
pesanan diterima. Apabila pembeli memesan
57 M. Arsyad Sanusi, E- commerce: hukum dan
solusinya, PT Mizan Grafika Sarana, Jakarta,
2007, h. 34.
kue ulang tahun
tersebut tanggal 12 juni 2010, seharusnya cakes atau kue ulang tahun tersebut
sampai di tempat pembeli pada tanggal 19 juni 2010. Akan tetapi, ternyata
penjual tidak dapat melaksanakan kewajibannya tersebut, ia tidak mengirimkan
kue tersebut sehingga dengan demikian penjual telah melakukan wanprestasi. 58
Situs-situs e-commerce
di Indonesia, jarang memberikan informasi mengenai perhitungan durasi waktu
pengiriman, hal ini berbeda dengan Situs e-commerce besar seperti amazon.com
dan playasia.com yang selalu mencantumkan perkiraan durasi waktu pengiriman
barang.Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sesuai dengan apa yang
dijanjikan.
Contoh atau aplikasi
dari wanprestasi ini adalah pembeli membeli sebuah hardware komputer pada forum
jual beli kaskus.us Menurut gambar dan dekripsi barang yang terdapat di iklan
tersebut menyatakan bahwa perlengkapan dari hardware tersebut sangat lengkap
walaupun hardware tersebut adalah barang bekas. Perlengkapan yang ada menurut
iklan tersebut adalah hardware, Cd driver, buku manual operasi, kabel power dan
sebuah bonus cd game. Akan tetapi setelah sampai di tempat pembeli, bonus cd
game tidak disertakan sebagaimana yang tertera dalam iklan. Dengan demikian,
jelas sekali bahwa penjual telah melakukan wanprestasi karena melaksanakan
prestasinya dengan tidak sebagai mana mestinya.
b. Melaksanakan Apa Yang Dijanjikan Tetapi Terlambat
58
http://www.mediakonsumen.com/Artikel1732.html, diakses pada tanggal 10 Mei
2010.
Bentuk kerugian model
ini sebenarnya sama dengan bentuk kerugian pada nomor “a”. jika barang yang
dipesan datang terlambat, tetapi tetap dapat dipergunakan, hal ini dapat
digolongkan sebagai prestasi yang terlambat. Sebaliknya jika prestasinya tidak
dapat digunakan lagi, digolongkan sebagai tidak melaksanakan apa yang telah
diperjanjikan.
c. Melakukan Sesuatu Yang Menurut Perjanjian
Tidak Boleh Dilakukan
Contoh aplikasi kerugian jenis ini
adalah penyebaran informasi pribadi konsumen yang dilakukan oleh penjual.
Informasi yang disebarkan oleh penjual tersebut dapat berasal dari form
registrasi yang diisi oleh konsumen sendiri dan cookies yang berasal dari situs
penjual. Penyebaran terhadap informasi pribadi ini tentu akan akan merugikan
konsumen, terlebih lagi terhadap informasi sensitif seperti nomor kartu kredit.
4. Kerugian yang timbul akibat cyber crimes
Tidak dapat dipungkiri
bahwa dalam dunia cyber terdapat berbagai jenis kejahatan yang dapat merugikan
konsumen. Kegiatan transaksi e-commerce yang semakin meningkat pesat menarik
minat para penjahat cyber. Kejahatan dalam dunia cyber sering disebut dengan cyber
crimes. Jenis-jenis dari e-crime adalah sebagai berikut : 59
a. Penipuan financial menggunakan media komputer
atau media digital
59 Abdul Wahid dan Mohhamad Labib, Kejahatan
Mayantara (cyber crime), Refika Aditama,
Malang, 2005.
hal. 80.
b. Sabotase
terhadap perangkat-perangkat digital, data-data milik orang lain, dan jaringan
komunikasi data.
c. Pencurian
informasi pribadi seseorang maupun organisasi tertentu.
d. Penetrasi
terhadap sistem komputer dan jaringan sehingga menyebabkan privasi terganggu
atau gangguan pada fungsi komputer yang digunakan (denial of service).
e. Para
pengguna internal sebuah organisasi melakukan akses-akses ke server tertentu
atau ke internet yang tidak diijinkan oleh peraturan organisasi.
f. Menyebarkan
virus, worm, backdoor, trojan pada perangkat komputer sebuah organisasi yang
mengakibatkan terbukanya aksesakses bagi orang-orang yang tidak berhak.
Kesemua jenis cyber
crime tersebut menimbulkan kerugian yang amat besar bagi korbannya, sebab data
yang dicuri pada umumnya adalah data yang sensitif seperti nomor kartu kredit,
nama korban, username atau password dan lain-lain.
C. Upaya
Hukum Yang Dapat Ditempuh Oleh Konsumen Apabila Terjadi
Kerugian Dalam E-Commerce
Upaya hukum adalah
keseluruhan upaya-upaya guna menyelesaikan suatu masalah hukum. Dalam
E-commerce terdapat dua macam upaya hukum yakni :
1. Upaya hukum preventif
Upaya hukum preventif
dapat diartikan sebagai segala upaya yang dilakukan guna mencegah terjadinya
suatu peristiwa atau keadaan yang tidak
diinginkan. Dalam
transaksi e-commerce, keadaan yang tidak diinginkan ini adalah terjadinya
kerugian, khususnya kerugian pada pihak konsumen. Upaya preventif perlu untuk
diterapkan mengingat penyelesaian sengketa e-commerce relatif sulit, memerlukan
waktu yang lama dalam penyelesaiannya dan tidak jarang memerlukan biaya yang
tinggi. Sebagai contoh dua orang Hongkong dan Austraia memerlukan waktu 5 bulan
untuk mendapatkan refund (pembayaran kembali) atas barang yang dibeli. Maka
dari itu, sengketa e-commerce sebisa mungkin harus dicegah. Dalam usaha-usaha
untuk mencegah terjadinya kerugian langkah-langkah yang dapat ditempuh, yakni :
a. Pembinaan Konsumen
Pembinaan konsumen
terdapat dalam Pasal 29 ayat 1 UUPK dimana disebutkan bahwa:
“Pemerintah
bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen
yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya
kewajiban konsumen dan pelaku usaha”.
Kemudian dalam ayat 4
disebutkan bahwa pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen bertujuan
untuk :
1) Terciptanya
iklim usaha dan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dengan konsumen.
2) Berkembangnya
lembaga konsumen swadaya masyarakat.
3) Meningkatkan
kualitas sumber daya manusia dan meningkatkan kegiatan penelitian dan
pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
Pembinaan terhadap
konsumen bertujuan agar konsumen mengetahui hak haknya sebagai konsumen dan
mendorong pelaku usaha agar berusaha secara sehat. Dalam era Informasi
Teknologi (IT) seperti saat ini, pembinaan konsumen harus ditingkatkan
mengingat bahwa edukasi adalah pertahanan terbaik untuk mengatasi cybercrime,
karena ancaman pelanggaran terhadap hak-hak konsumen tidak hanya berasal dari
pelaku usaha saja tapi bisa juga datang dari pihak ketiga melalui
kejahatan-kejahatan internet (cyber crimes). Hal-hal yang perlu diberikan dalam
edukasi terhadap konsumen adalah :
1) hak,
kewajiban dan tanggung jawab seluruh pihak terkait. Baik konsumen, pelaku
usaha, maupun bank (dalam hal transaksi menggunakan kartu kredit)
2)
Pentingnya
menjaga keamanan password seperti misalnya :
a) merahasiakan
dan tidak memberitahukan PIN/Password kepada siapapun termasuk kepada
petugas penyelenggara
b)
Menggunakan
Pin/Password yang tidak mudah ditebak
c)
melakukan
perubahan PIN/Password secara berkala
d)
tidak
mencatat PIN/Password dalam bentuk fisik
e)
Pin
untuk satu produk hendaknya berbeda dengan produk lainnya.
3)
Edukasi
mengenai berbagai modus cyber crime
Pembinaan konsumen oleh
pemerintah dilakukan oleh menteri/menteri teknis terkait (UUPK Pasal 29 ayat
2). Namun dalam praktek, peranan pemerintah dalam melakukan edukasi/pembinaan
terhadap konsumen belum begitu maksimal, hal ini dapat dilihat dari rendahnya
kesadaran konsumen mengenai hak-hak yang
dimilikinya dan masih rendahnya keberanian konsumen
untuk menuntut pelaku usaha.
b. Pengawasan dan Perlindungan Oleh Pemerintah
Maupun Badan Yang Terkait. Kewajiban pemerintah untuk melakukan pengawasan dan
perlindungan tercantum dalam UU ITE Pasal 40 ayat 2 dan UUPK Pasal 30 ayat 1,
dimana dalam Pasal 40 ayat 2 UU ITE disebutkan bahwa “Pemerintah melindungi
kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan
Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum,
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”. Perlindungan oleh
pemerintah terlihat dalam ayat 3, 4, dan 5 dimana apabila disimpulkan bahwa
Instansi yang memiliki data elektronik yang strategis wajib membuat cadangan
(back up) terhadap data elektronik tersebut dengan tujuan untuk kepentingan
perlindungan data apabila terjadi kerusakan, kehilangan atau serangan terhadap
data elektronik tersebut.
Pengawasan yang dilakukan
pemerintah sudah
terlaksana, hal
ini terlihat dalam :
1) Dikeluarkannya
kebijakan pemerintah yang memblokir konten-konten internet yang mengandung
unsur pornografi dan konten yang berbau SARA (implementasi Pasal 40 ayat 2 UU
ITE). 60
60
Salah satu contoh implementasi Pasal 40 ayat 2 UU ITE yang sudah dilakukan oleh
pemerintah adalah pemblokiran website-website porno dan menghapus/memblokir
website-website yang menampilkan/menyediakan film fitna, dimana film tersebut
mengandung muatan SARA.
2) Pengawasan
terhadap bank yang memiliki data elektronik yang strategis dilakukan oleh Bank
Indonesia (implementasi Pasal 40 ayat 3, 4, dan 5 UU ITE).
Kemudian dalam Pasal 30 ayat 1
UUPK disebutkan bahwa
“Pengawasan terhadap penyelenggaraan
perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan
Perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat”.
Pelaksanaan terhadap ketentuan ini lebih
banyak dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat misalnya oleh Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI). Hal ini disebabkan karena rendahnya kinerja badan
pemerintah yang bergerak dalam perlindungan konsumen, mulai dari kurangnya
sosialisasi dan edukasi kepada konsumen.
2. Upaya hukum represif
Upaya hukum represif
adalah upaya hukum yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum
yang sudah terjadi. Upaya hukum ini digunakan apabila telah terjadi sengketa
antara pelaku usaha dengan konsumen. Menurut UUPK salah satu hak konsumen
adalah mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
secara patut (UUPK Pasal 4 huruf e). Selain itu, salah satu kewajiban pelaku
usaha adalah memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan (UUPK Pasal 7 butir f). Dalam transaksi e-commerce, banyak
hal yang bias menimbulkan suatu sengketa
sebagaimana disebutkan
diatas yang dapat menurunkan rasa kepercayaan konsumen terhadap sistem
e-commerce, sehingga diperlukan suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang
efektif dan efisien.
Transaksi e-commerce
dapat bersifat internasional maupun bersifat nasional. Tranasksi e-commerce
yang bersifat internasional artinya transaksi dapat dilakukan dengan melintasi
batas suatu negara, hal ini sesuai dengan karakteristik e-commerce yang
bersifat borderless. Oleh karena itu, pembahasan dalam sub bab ini
dibagi menjadi dua yakni upaya hukum dalam hal transaksi terjadi secara
internasional dan transaksi yang terjadi dalam wilayah Indonesia.
3. Upaya hukum dalam hal transaksi e-commerce
bersifat Internasional
Masalah yang muncul
dalam hal terjadi sengketa pada transaksi e-commerce yang bersifat
internasional adalah menentukan hukum/pengadilan mana yang digunakan untuk
menyelesaikan sengketa. 61
Dalam UU ITE, pengaturan mengenai transaksi e-commerce yang bersifat
internasional terdapat dalam Pasal 18. Menurut pasal 18 ayat (2) UU ITE para
pihak berwenang untuk menentukan hukum yang berlaku bagi transaksi e-commerce
yang dilakukannya, maka dalam hal ini para pihak sebaiknya menentukan hukum
mana yang berlaku apa bila terjadi sengketa di kemudian hari (choice of law).
Dalam menentukan
61 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Dultom,
Cyber Law : aspek hukum teknologi
informasi,Refika
Aditama, Bandung, 2005, Hal.167.
pilihan hukum, ada batasanbatasan dan
prinsip-prinsip yang harus diperhatikan yakni sebagai berikut : 62
a. Partijautonomie
Menurut prinsip ini, para pihak
merupakan pihak yang paling berhak menentukan hukum yang hendak mereka pilih
dan berlaku sebagai dasar penyelesaian sengketa sekiranya timbul suatu sengketa
dari kontrak transaksi yang dibuat. Prinsip ini merupakan prinsip yang telah
secara umum dan tertulis diakui oleh sebagian besar Negara, seperti eropa,
eropa timur, Negara-negara asia afrika, termasuk Indonesia.
b. Bonafide
Menurut prinsip ini, suatu pilihan hukum
harus didasarkan itikad baik, yaitu semata-mata untuk tujuan kepastian,
perlindungan yang adil, dan jaminan yang lebih pasti bagi pelaksanaan
akibat-akibat transaksi.
c. Real Connection
Beberapa sistem hukum mensyaratkan
keharusan adanya hubungan nyata antara hukum yang dipilih dengan peristiwa
hukum yang hendak ditundukkan/didasarkan kepada hukum yang dipilih.
d. Larangan Penyelundupan Hukum
Pihak-pihak yang diberi kebebasan untuk
melakukan pilihan hukum, hendaknya tidak menggunakan kebebasan itu untuk tujuan
kesewenangwenangan demi keuntungan sendiri.
62 Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek-aspek Hukum
Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis
Internasional,
Refika Aditama, Bandung, 2000, hal.70-71.
e. Ketertiban Umum
Suatu pilihan hukum
tidak boleh bertentangan dengan sendi-sendi asasi hukum dan masyarakat, hukum
para hakim yang akan mengadili sengketa bahwa ketertiban umum merupakan
pembatas pertama kemauan seseorang dalam melakukan pilihan hukum.
Berdasarkan uraian
diatas, jelas bahwa kebebasan para pihak dalam melakukan pilihan hukum bukanlah
tanpa batas tapi harus memperhatikan prinsip dan batasan sebagaimana diuraikan
diatas. Namun ada kalanya para pihak tidak mencantumkan klausula pilihan hukum
dalam kontrak elektronik yang dibuatnya maka berdasarkan Pasal 18 ayat (3)
hukum yang berlaku bagi para pihak ditentukan berdasarkan pada asas Hukum
Perdata Internasional (HPI). Dalam HPI terdapat teori-teori untuk menentukan
hukum mana yang berlaku bagi suatu kontrak internasional, teori tersebut adalah
: 63
a.
Teori Lex loci contractus, hukum
yang berlaku adalah hukum tempat dimana kontrak dibuat. Teori ini merupakan
teori klasik yang tidak mudah diterapkan dalam praktek pembentukan kontrak
internasional modern sebab pihak-pihak yang berkontrak tidak selalu hadir
bertatap muka membentuk kontrak di satu tempat (contract between absent
person). Dapat saja mereka berkontrak melalui telepon atau sarana-sarana
lainnya. Alternatif yang tersedia bagi kelemahan teori ini adalah pertama, teori
post box dan kedua, teori
penerimaan. Menurut teori
post box, hukum yang berlaku adalah hukum
tempat post box di mana pihak
yang menerima penawaran (offer) itu
63 Sudargo
Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia (Jilid III bagian 2 Buku ke-8),
Alumni, Bandung,
1998,h. 8-16.
memasukkan surat pemberitahuan penerimaan atas
tawaran itu. Sementara itu, menurut teori penerimaan, hukum yang berlaku adalah
hukum tempat di mana pihak penawar menerima menerima surat pernyataan
penerimaan penawaran dari pihak yang menerima tawaran.
b.
Teori Lex loci solutionis, hukum
yang berlaku adalah hukum tempat dimana perjanjian dilaksanakan, bukan
di mana tempat kontraknya ditandatangani. Kesulitan utama kontrak ini adalah,
jika kontrak itu harus dilaksanakan tidak di satu tempat, seperti kasus kontrak
jual beli yang melibatkan pihak-pihak (penjual dan pembeli) yang berada di
Negara berbeda, dan dengan system hukum yang berbeda pula.
c.
Teori the proper law of contract, hukum
yang berlaku adalah hukum Negara yang paling wajar berlaku bagi kontrak
itu, yaitu dengan cara mencari titik berat (center of gravity) atau
titik taut yang paling erat dengan kontrak itu.
d. Teori
the most characteristic connection, hukum yang berlaku
adalah hukum dari pihak yang melakukan prestasi yang paling
karakteristik. Kelebihan teori ini adalah bahwa dengan teori ini dapat
dihindari beberapa kesulitan, seperti keharusan untuk mengadakan kualifikasi lex
loci contractus atau lex loci solutionis, di samping itu juga
dijanjikan kepastian hukum secara lebih awal
oleh teori ini.
Selain para pihak dapat
menentukan hukum yang berlaku, para pihak juga dapat secara langsung menunjuk
forum pengadilan, arbitrase, dan lembaga penyelesaian sengketa lainnya yang
berwenang untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka (Pasal 18 ayat 4). Untuk
menyelesaikan sengketa e-commerce
yang bersifat
internasional, sebaiknya menggunakan mekanisme ADR (Alternative Dispute
Resolution). Alasannya adalah bahwa dengan menggunakan ADR maka para pihak
tidak perlu dipusingkan dengan perbedaan sistem hukum, budaya dan bahasa. 64
Dasar hukum ADR di Indonesia adalah Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase). Sebagaimana
diketahui bahwa kegiatan e-commerce sepenuhnya bersifat online oleh
karena itu sudah sewajarnya apabila penyelesaian sengketanyapun dilakukan
secara online, mengingat bahwa para pihak berkedudukan dinegara yang
berbeda yang tentunya bila penyelesaian sengketa dilakukan dengan pertemuan
secara fisik akan memakan waktu dan biaya yang banyak. Di Amerika bermunculan
situs-situs untuk menyelesaikan permasalahan ecommerce secara online seperti
Cybersettle.com, E-Resolutions.com, iCourthouse, dan Online Mediators. 65
Pelaksanaan penyelesaian sengketa e-commerce di Indonesia belum sepenuhnya
bersifat online, namun UU Arbitrase memberikan kemungkinan penyelesaian
sengketa secara online dengan menggunakan e-mail, hal ini tercantum
dalam ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU No.30 tahun 1999 yakni “Dalam hal
disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk
pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimil, e-mail
atau dalam bentuk sarana komunikasi kainnya, wajib disertai dengan suatu
catatan penerimaan oleh para pihak.” (huruf miring dari penulis). Dengan
diperbolehkannya penggunaan e-mail untuk menyelesaikan sengketa,
64 Dikdik M. Arief
Mansur dan Elisatris Dultom, opcit, Hal. 177.
65 Edmon
Makarim, op.cit, h. 180.
maka para pihak dapat menyelesaiakan sengketanya
secara online tanpa harus bertemu satu sama lain.
4.
Upaya hukum bagi transaksi
e-commerce yang terjadi di Indonesia a. Non Litigasi
Penyelesaian sengketa
konsumen diluar pengadilan di selenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai
bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk
menjamin tidak akan terjadinya kembali kerugian yang diderita oleh konsumen (Pasal
47 UUPK). Penyelesaian sengketa konsumen melalui jalur non litigasi digunakan
untuk mengatasi keberlikuan proses pengadilan, dalam Pasal 45 ayat 4 UUPK
disebutkan bahwa “jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para
pihak yang bersengketa”. Penyelesaian sengketa melalui jalur non
litigasi dapat ditempuh melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (YLKI), Direktorat
Perlindungan Konsumen Disperindag, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
dan pelaku usaha sendiri. 66
Masing-masing badan ini
memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam menyelesaikan perkara yang ada.
YLKI merupakan lembaga
swadaya masyarakat yang diakui oleh pemerintah yang dapat berperan aktif dalam
mewujudkan perlindungan konsumen (UUPK Pasal 44 ayat 1 dan 2). YLKI menyediakan
sarana dengan bentuk pengaduan terhadap transaksi yang bermasalah yaitu dengan
membuka pengaduan
66 Edmon Makarim,
op . cit , h. 404.
dari empat saluran yang
ada yaitu telepon, surat, dengan datang langsung ke kantor YLKI, dan email. 67
Adapun sistem yang digunakan adalah pertama, sistem full up atau
secara tertulis. Bentuk pengaduan yang dilakukan oleh konsumen harus
dalam bentuk tertulis dengan disertai bukti-bukti yang cukup dan identitas
konsumen yang bersangkutan. Misalnya dalam kasus kegagalan pembayaran melalui
ATM maka konsumen dapat melampirkan “slip” tanda pembayaran dalam aduannya.
Kemudian YLKI akan mempelajari berkas perkara tersebut, selanjutnya YLKI akan
melayangkan surat kepada pelaku usaha untuk dimintai keterangannya. Pihak YLKI
kemudian melakukan surat-menyurat apabila pihak konsumen tidak puas atas
tanggapan dari pelaku usaha, dan YLKI juga dapat mengundang kedua belah pihak
yang bermasalah untuk didengar pendapatnya. Disini YLKI bertindak sebagai
mediator. Sistem kedua yakni sistem non-full up, dalam sistem ini YLKI
akan memberikan konsultasi dan saran-saran yang dapat dilakukan konsumen, jika
konsumen merasa yakin dan perlu kasusnya untuk ditindaklanjuti, maka dapat
dilakukan sistem full up.
Dari sisi pemerintah
melalui Direktorat Perlindungan Konsumen Disperindag, upaya konsumen yang dapat
dilakukan hampir sama dengan YLKI, yaitu melakukan pengaduan disertai dengan
bukti kejadian. Perbedaannya adalah pada saat pemanggilan pelaku usaha untuk
dimintai keterangan perihal masalah yang ada. Apabila ditemukan adanya hak-hak
konsumen yang dilanggar, pihak pelaku usaha dapat dengan cepat merespons dan
mematuhi ketentuan yang telah digariskan oleh Direktorat tersebut. Hal ini
terkait dengan ancaman pencabutan
67
http://www.mediakonsumen.com/Kategori11.html, bahan diakses tanggal 15 januari
2009.
izin usaha yang
dikeluarkan oleh Disperindag. Terapi ini ampuh untuk menindaklanjuti
permasalahan konsumen yang mengemuka. Mekanisme pengaduan melalui lembaga
pemerintah ini masih jarang dilakukan konsumen karena ketidaktahuan terhadap
bentuk penyaluran pengaduan yang tenyata disediakan oleh Disperindag. 68
BPSK merupakan badan
bentukan pemerintah yang tugas utamanya adalah melaksanakan penanganan dan
penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi, arbitrase atau
konsiliasi. Penyelesaian masalah sengketa konsumen melalui badan ini sangat
murah, cepat, sederhana dan tidak berbelit-belit. 69
Konsumen yang bersengketa dengan pelaku usaha bisa datang ke badan ini dan
mengisi formulir pengaduan, nantinya BPSK akan mengundang para pihak yang
bersengketa untuk melakukan pertemuan pra-sidang. BPSK berwenang untuk
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan keterangan yang diadukan oleh
pihak-pihak yang bersengketa. Dalam penyelesaian sengketa melalui jalur non
litigasi konsumen sebaiknya memilih menggunakan arbitrase, sebab hasil putusan
arbitrase mengikat para pihak dan mempunyai kekuatan hukum layaknya putusan
pengadilan. Jangka waktu penyelesaian sengketa oleh BPSK adalah 21 hari sejak
pengaduan diterima (Pasal 55 UUPK) dan pelaku usaha dalam waktu paling lambat 7
hari sejak menerima putusan dari BPSK wajib melaksanakan putusan tersebut.
Kemudian, dari sisi
pelaku usaha, umumnya pengaduan yang ada dapat berasal dari saluran telepon,
surat, dan e-mail yang diterima oleh customer
68 Edmon Makarim,
Op . cit , h. 405.
69 Happy
Susanto, op . cit , h. 78.
service. Akan
tetapi, terkadang penyaluran pengaduan melalui pelaku usaha tidak dapat
memuaskan konsumen.
Dari uraian diatas,
terlihat bahwa jalur-jalur penyelesaian sengketa yang tersedia telah memberikan
jalan bagi konsumen untuk menegakkan hak-haknya yang dilanggar oleh pelaku
usaha. Hal ini seharusnya dapat menimbulkan kesadaran bagi konsumen untuk lebih
berani mengadukan permsalahannya, dimana dalam praktek konsumen masih enggan
untuk melaporkan pelanggaran terhadap hak-haknya.
b.
Litigasi
Dasar hukum untuk
mengajukan gugatan di pengadilan terdapat dalam Pasal 38 ayat 1 UU ITE dan
Pasal 45 ayat 1 UUPK. Dalam Pasal 38 ayat 1 UU ITE disebutkan bahwa:
“Setiap orang dapat
mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem
Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian”.
Sedangkan gugatan yang diajukan berupa gugatan perdata (Pasal 39 ayat
1).
Sedangkan dalam Pasal 45 ayat 1
UUPK disebutkan bahwa:
“Setiap konsumen
yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan
yang berada di lingkungan peradilan umum”.
Dengan diakuinya alat
bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 5 ayat 1, 2 dan 3 UU ITE maka alat-alat bukti yang dapat
digunakan oleh konsumen di pengadilan adalah :
1) Bukti transfer
atau bukti pembayaran.
2) SMS atau e-mail
yang menyatakan kesepakatan untuk melakukan pembelian.
3) Nama, alamat,
nomor telepon, dan nomor rekening pelaku usaha.
Pihak-pihak yang
boleh mengajukan gugatan
ke pengadilan dalam
sengketa
konsumen menurut pasal 46 UUPK adalah :
1) Seorang konsumen
yang dirugikan atau ahli warisnya
2) Sekelompok
konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama
3) Lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk
badan hukum atau yayasan yang tujuan didirikannya lembaga ini adalah untuk
kepentingan konsumen.
4) Pemerintah atau
instansi terkait
Yang perlu
diperhatikan konsumen dalam
mengajukan gugatan ke
pengadilan dalam
sengketa konsumen adalah :
1) Setiap
bentuk kerugian yang dialami oleh konsumen bisa diajukan ke pengadilan dengan
tidak memandang besar kecilnya kerugian yang diderita, hal ini diizinkan dengan
memperhatikan hal-hal berikut : 70
(1) Kepentingan
dari pihak penggugat (konsumen) tidak dapat diukur semata-mata dari nilai uang
kerugiannya,
70 Janus
Sidubalok, op . cit , h.148.
(2) Keyakinan
bahwa pintu keadilan seharusnya terbuka bagi siapa saja, termasuk para konsumen
kecil dan miskin, dan
(3) Untuk menjaga
intregitas badan-badan peradilan.
(4) bahwa
pembuktian ada tidaknya unsur kesalahan merupakan beban dan tanggung jawab
pelaku usaha, hal ini karena UUPK menganut asas pertanggungan jawab produk
(product liability) sebagaimana diatur
dalam Pasal 19 juncto Pasal 28 UUPK. 71
Ini berbeda dengan teori beban pembuktian pada acara biasa, dimana beban
pembuktian merupakan
tanggung jawab penggugat (konsumen) untuk
membuktikan adanya unsur kesalahan. Dengan adanya prinsip product liability
ini, maka konsumen yang mengajukan gugatan kepada pelaku usaha cukup
menunjukkan bahwa produk yang diterima dari pelaku
usaha telah mengalami kerusakan pada saat diserahkan oleh pelaku usaha dan
kerusakan tersebut menimbulkan kerugian atau kecelakaan bagi si konsumen. 72
Dengan berlakunya
prinsip hukum bahwa setiap orang yang melakukan suatu akibat kerugian bagi
orang lain, harus memikul tanggung jawab yang diperbuatnya. Maka dalam hal ini
konsumen dapat mengajukan tuntutan berupa kompensasi/ganti rugi kepada pelaku
usaha, kompensasi tersebut menurut Pasal 19 ayat 2 UUPK meliputi pengembalian
sejumlah uang, penggantian barang atau
71
http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptumm-gdl-s1-2002-dewi-5881-
e-commerce&q=Usaha, bahan diakses tanggal 15 januari 2009.
72
N.H.T Siahaan, op . cit , h, 17.
jasa sejenis atau yang
setara, perawatan kesehatan, dan pemberian santunan sesuai ketentuan
perundang-undangan.
Berdasakan uraian diatas,
terlihat bahwa penyelesaian sengketa konsumen melalui jalur litigasi tidak
serumit yang dibayangkan oleh konsumen pada umumnya. Karena dalam penyelesaian
sengketa konsumen melalui pengadilan, pihak yang dibebani untuk membuktikan ada
atau tidaknya unsur kesalahan merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
0 komentar:
Posting Komentar